ASA
Agustina Tri Tresnaning Tyas
Hari ini aku terpaksa berhenti sekolah, karena tak ada biaya. Aku kasihan sama emak yang tiap hari membanting tulang tapi hanya mendapat uang paling banyak dua puluh ribu rupiah, uang segitu jangankan untuk membayar sekolah, untuk sesuap nasi saja kadang kami harus hutang di warung tetangga. Jadi aku memutuskan tidak sekolah lagi dan berkeinginan membantu emak menjadi pemulung. Barang kali dengan bantuanku, emak bisa mendapat lebih banyak uang buat hidup kami sehari-hari.
Kokok ayam membangunkanku dari tidur. Cahaya matahari mengintip dari sela-sela atap rumah dan jendela kamarku. Suara gemericik air dan gemerincing perabotan terdengar tak jauh dari kamarku. Bau pengap kamarku medmbuatku ta betah berlama-lama lagi berada di kamar. Akhirnya aku beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Lalu kuhampiri emak yang sedak bergumul dengan alat-alat masaknya.
“Lagi apa Mak?” Tanyaku.
“Lagi buat sarapan nak, katanya hari ini kamu mau bantu emak?”
“Iya Mak.” Jawabku singkat.
“Nah, karena pekerjaan kita nanti berat, kamu harus sarapan dulu. Nanti disana itu panas, salah-salah nanti malah kamu pingsan. Jadi sekarang sarapan, lalu kita segera bersiap-siap.” Jelas Emak.
“Baik mak, (sambil mengambil piring, lalu nasi dan secuil ikan asin) Emak nggak sarapan? Nanti emak sakit.” Ucapku.
“Iya nak, kamu dulu makan sampai kenyang, nanti Mak makan sisa kamu saja, ayao makan yang banyak.” Kata Emak.
“Nggak Mak, mak harus makan bareng aku, rachmat ini sudah cukup kok.” Ucapku sedikit memaksa Emak.
Ahirnya Emak mengambil piring dan makan bersamaku.
Waktu menunjukkan pukul 07.00, waktunya kami bersiap-siap dan bergegas menuju peraduan. Inilah pertama kalinya aku membantu Emak. Cukup menjijikan karena aku harus mengorek-ngorek sampah yang bau busuk. Tapi saat kulihat Emak dia sangat cekatan dan telaten. Oleh sebab itu, aku segera menyingkirkan perasaan jijik di benakku, dan bergegas membantu Emak. Ternyata waktu yang digunakan untuk mengorek-korek sampah tidaklah lama. Pukul 09.00 kami sudah beristirahat. Tetapi yang lebih menyiksa, disaat kami beristirahat itu, aku teringat akan sekolah yang aku tinggalkan. Masih terngiang di telingaku suara Ibu guru yang mengajar kami, ketika aku bermain dengan teman sejawatku, dan aktivitas yang biasa aku lakukan saat aku masih di sekolah. Tapi sekarang semua itu telah sirna. Keinginanku untuk bersekolah lagi telah kandas. Sekarang aku harus bisa menerima keadaanku.
Suatu hari, pernah aku pergi diam-diam ke sekolahku hanya untuk melihat teman-temanku yang sedang belajar di kelas. Sungguh sangat menyakitkan. Lalu
aku mulai berpikir,
“Gimana kalau aku minjem catetan punya Galih, pasti boleh asal segera ku kembalikan. Jadi, walaupun aku tak sekolah bukan berarti aku tidak bisa belajar.”
Yah, aku memutuskan untuk meminjam catatan Galih, dan berniat menunggunya sampai sekolah bubar. Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku segera mencari Galih, mataku menyapu ke semua arah, dan menemukannya sedang berjalan keluar kelas.
“ Galih!”
Galih pun mencari sumber suara yang memanggilnya.
“ Oh, ternyata kamu Rachmat, ada apa?” kata Galih.
“ Tidak, aku hanya ingin bertemu denganmu.” Ucapku.
“ Ada apa? Mengapa kamu tidak pernah masuk sekolah lagi?” ujarnya.
“ Oh. . Umm, itu. .”
Aku tak bisa menjawab, dan langsung mengalihkan pembicaraan.
“ Anu Lih, Aku mau pinjam catatanmu untuk kucatat dan pasti segera
aku kembalikan.” Jelasku.
“Oh. . kau mencariku mau pinjam buku catatanku to? Kenapa tidak bilang dari awal?”
“Umm. . Aku takut nanti mengganggumu, Lih.”
“Ahh.. tak usah kau berpikir seperti itu. Ini buku catatanku, jika sudah selesai segera kembalikan ya?”
“Baik, pasti aku kembalikan, dan buku ini akan kurawat selama dia ada ditanganku. Setelah selesai langsung ku kembalikan dan kuantar ke rumahmu lih. Terima kasih ya.” Kataku bersemangat.
“ Sama-sama.” Ucapnya singkat dan langsung pergi.
Tapi tak hanya itu yang aku butuhkan, aku juga butuh teman-teman yang bisa menyemangati seperti yang dilakukan teman-temanku di sekolah. Aku rindu suasana itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat, jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan saja susah. Sekarang aku hanya bisa pasrah menunggu keajaiban datang. Barangkali ada dermawan yang berbaik hati mau menyekolahkan aku. Aku selalu berdoa kepada Tuhan supaya keajaiban itu segera datang.
***
Tiba-tiba seorang teman datang menghampiriku. Dia mengajakku untuk melihat sekolah yang murah di seberang jalan.
“Rachmat, ikutlah aku, akan ku ajak kau ke suatu tempat. Kau pasti menyukainya.” Kata Galih.
“Kemana mat? Aku belum mandi.”Tanyaku.
“Di seberang jalan sana ada sekolah murah. Cepatlah mandi, kutunggu.” Ujarnya.
Mendengar hal itu aku segera mandi dan bersiap-siap secepat mungkin. Hatiku senang bukan kepalang mendengar ada sekolah murah. Jadi aku aku bisa sekolah lagi, pikirku. Setelah selesai aku segera menemui Galih dan segera berangkat.
“Aku sudah siap. Let’s go.” Ucapku penuh semangat.
“Sabar, kau kelihatan bersemangat sekali. Senang aku melihatnya. Ok, Ayo berangkat.” Kata Galih.
Karena tempat itu tak begitu jauh, kami pun tak perlu berjalan lama untuk sampai ke sekolah itu.
“Wah, inikah sekolah yang kau maksud, Lih?” ucapku kagum.
“Ya, bagus bukan, pasti kau tak percaya. Ayo kita masuk dan mencari informasi tentang sekolah ini.” Ungkap Galih.
“Ok.”
***
“Galih.. makasih banget, kamu sungguh baik hati. Setelah sekian lama akhirnya aku bisa bersekolah lagi. Makasih Lih, makasih banget.”
“Sama-sama, aku kasihan melihat kamu. Kamu pintar hanya saja tak punya biaya sehingga kamu harus putus sekolah. Sekarang giat-giatlah bekerja supaya kamu tetap bisa sekolah.”
“Pasti Lih, pasti. Aku akan giat bekerja. Makasih sekali lagi.”
Selama sisa waktu yang masih ada aku gunakan untuk bersekolah di sekolah itu. Aku melanjutkan ke kelas X. Sekolah itu memang bukan sekolah formal, tetapi sekolah itu bisa memberiku ijazah untuk masuk SMA.
***
Pada suatu pagi, teman SMPku menjemputku untuk pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari yang penting, karena hari ini aku akan menjalani test masuk. Suasana yang sumpek, ramai, yang kemudian menjadi sunyi senyap, menggambarkan keadaan kelas tempat kami test. Beberapa guru pengawas mondar-mandir, seolah tak mengijinkan kami barang menengok sekali saja. Tiap gerak-gerik kami diawasi. Seakan-akan kami hendak mencuri sesuatu.
“Ah sudahlah, memang itu tugas pengawas ujian, mau apa lagi.” Pikirku.
Tik tok tik tok suara detak jam terdengar dengan jelas saking heningnya keadaan kelas. Tak lama kemudian salah satu pengawas mengumumkan,
“Waktu ujian tinggal 15 menit lagi, peserta ujian yang sudah selesai boleh meninggalkan kelas.”
Karena aku sudah selesai dan merasa cukup yakin akan hasil pekerjaanku, dan aku
memutuskan untuk keluar kelas. Selain itu, aku sudah tidak betah dengan keadaan kelas yang pengap, panas, dan sangat tidak bersahabat. Setelah mengambil semua barang bawaanku aku pun bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang, tak henti-hentinya aku
berdoa kepada Tuhan, supaya pekerjaanku diberkati. Sehingga aku dapat diterima di SMA itu. Sesampainya di rumah Emak bertanya padaku.
“Selama ini kamu kemana saja Mat?”
“Oh.. Anu mak, aku pergi mencari sekolah yang murah. Jadi, aku bisa membayar sendiri biayanya, dan tak perlu merepotkan Emak. Karena aku tahu Emak sedang kesusahan. Tak perlu memikirkan aku mak. Aku bisa kok.”
“Rachmat, (sambil mengusap rambutku, dan aku tidur dipangkuannya) kamu sungguh anak baik, maafkan Emak karena tak bisa membahagiakan kamu nak.”
“Emak, Emak ada disampingku dan tak meninggalkanku itu sudah hal yang sangat membahagiakan buat aku Mak. Tak perlu berkata seperti itu. Doakan saja supaya besok aku diterima di SMA.”
“Iya anakku, pasti Emak akan mendoakan semua yang terbaik buat kamu.”
Tanpa terasa aku tertidur dipangkuan Emak. Betapa menenangkan sekali.
Tak terasa ternyata sudah cukup lama aku menabung. Jantungku deg-degan, perasaanku tak karuan. Semua bercampur jadi satu. Karena uang yang aku kumpulkan selama ini akan segera kubuka dan kuhitung. Hatiku senang bukan kepalang. Walaupun sudah berkurang untuk membayar uang sekolahku sebelumnya. Aku mulai menghitung, sepuluh ribu, seratus ribu dan seterusnya. Hingga sembilan ratus ribu wah uangku banyak sekali. Ingin rasanya membelanjakan uang sebanyak itu.
“Sudah banyak yang ingin kubeli. Ingin membeli HP, membelikan baju Emak, dll.” Tiba-tiba aku terdiam dan merasa sedikit kecewa, saat teringat bahwa uang itu harus
kugunakan untuk membayar administrasi sekolah kelak jika aku diterima di SMA.
***
Hari itu pun datang juga. Hari pengumuman penerimaan siswa baru. Hatiku pun dag dig dug. Jam 5 aku sudah bangun, lalu mandi, sarapan, dan bersiap-siap untuk ke sekolah melihat pengumuman. Teman SMP ku bilang, dia akan menunggu di sekolah. Jadi kita bertemu disana. Waktu menunjukkan pukul 6.15, aku sudah siap. Segera aku berpamitan dengan Emak.
“ Mak, aku berangkat dulu ya, (kulihat wajah Emak pucat) Emak sakit?”
“Tidak nak, Emak hanya belum mandi. Setelah mandi Emak pasti segar lagi. Ya sudah, kalau kamu ingin berangkat segeralah berangkat, nanti telat.”
“Iya mak, ya sudah, aku berangkat dulu ya mak.”
Baru beberapa langkah dari pintu rumah, tiba-tiba aku mendengar suara “GUBRAKK!” Suara apa itu? Segera aku berlari masuk kedalam rumah, mencari Emak. Aku mendapati Emak terjatuh di dapur.
“Emak!! Emak kenapa? Bangun mak? BANGUN!”
Tak berapa lama semua tetangga datang ke rumahku. Mereka bertanya apa yang terjadi. Aku tak menjawab, setelah mereka melihat kondisi Emak, mereka langsung mencari bantuan. Setengah jam kemudian mobil ambulan datang dan membawa Emak ke Rumah Sakit.
***
Dokter keluar dari UGD, dan berkata kepadaku,
“Nak, yang sabar ya, Emakmu tidak apa-apa. Hanya ada sedikit permasalahan pada kakinya. Ada luka memar yang saya kira sudah diidap Emakmu cukup lama. Mungkin rasa sakit yang berlebihan membuat emakmu pingsan dan jatuh. Tapi ternyata memar itu bukan sembarang memar, itu adalah darah yang menggumpal, dan harus diambil.” Kata dokter
“Diambil? Dioperasi dok? Itu kan mahal? Kira-kira berapa?” kataku
“karena itu cuma operasi kecil jadi sekitar Rp.700-750 ribuan.” Kata dokter
“Aduh pak, sebenarnya ini saya ada uang tetapi untuk membayar masuk sekolah pak. Gimana pak?”
“Saya juga ndak tau dek, tapi keputusan ada di adek, mau diambil atau tidak”
Aku langsung terdiam. Aku ingin sekolah tapi aku juga nggak mau Emak ninggalin aku. Aku sayang emak. Pendidikan bisa diperoleh dengan cara lain. Tapi Emak tak bisa dicari lagi, nggak ada yang bisa menggantikan dia. Ya Emak harus sembuh. Harus!
“Dok, Sembuhkan Emak saya, nanti duit ini akan saya gunakan untuk membayar biaya operasinya. Tolong dok.”
“Baik nak”
Langsung aku berlari dan menangis di jalan. Tuhan aku pasrah , apapun yang engkau berikan kepadaku itu yang terbaik buat aku. Asal jangan Kau pisahkan aku dengan Emak. Cuma dia satu-satunya yang kupunya. Terima kasih Tuhan.
SELESAI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar